Kesehatan Islami dan Keseimbangan Nalar
Selasa, 21 Jumadil Ula 1434 H | 02 April 2013 20:37:06 WIB
Oleh : Ahmad Biyadi
Alkisah, Raja Al-Muqauqis, Kaisar Mesir memberi banyak hadiah kepada Nabi Muhammad berupa budak, peralatan, dan seorang dokter.
Hanya dalam beberapa waktu tak ada satupun dari kaum muslim yang
berobat atau konsultasi dengan si dokter karena kaum muslimin jarang
sakit.
Maka dokter itu pun bertanya kepada Nabi SAW mengapa bisa demikian.
Nabi meminta sang dokter pulang seraya bersabda, “Kami adalah kaum
yang tidak makan hingga betul-betul lapar dan apabila makan kami
berhenti sebelum kekenyangan.”
Kisah di atas –meski dengan riwayat yang masih diperselisihkan-
menunjukkan betapa para sahabat sangatlah menjaga kesehatan dan
kebugaran. Itu juga menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama orang-orang
penyakitan dan lemah.
Dunia medis pun mengakui betapa penjelasan Hadist di atas sangatlah
mengagumkan. Banyak pakar kedokteran menyatakan esensi kesehatan
sejatinya terletak dari mengatur pola makan.
Sehingga bila pencernaan telah sehat, maka anggota tubuh lain pun akan sehat. Itu semua telah di jelaskan dalam Hadis di atas.
Sehingga bila pencernaan telah sehat, maka anggota tubuh lain pun akan sehat. Itu semua telah di jelaskan dalam Hadis di atas.
Terlebih lagi, penjelasan tentang pentingnya medis dalam Islam pun
dapat dirasakan dari banyaknya perintah bersuci dan berlaku bersih,
perintah berobat ketika sakit, dan perintah melakukan upaya preventif
agar tidak sakit. Dalam sebuah Hadis diriwayatkan seorang arab pedalaman
bertanya kepada Nabi SAW, “Wahai Rosulullah, apakah kami harus
berobat?” Rasul pun menjawab, “Berobatlah kalian!”. Itu menunjukkan
bahwa kita diperintah agar menjaga kesehatan dan berupaya untuk tidak
sakit, di samping meyakini bahwa Tuhanlah yang menentukan segalanya, dan
apapun yang ditentukan-Nya adalah yang terbaik.
Islam memandang bahwa kesehatan adalah bagian dari nikmat Allah yang
harus disyukuri. Hadis lain menjelaskan tentang ini bahwa ada dua
nikmat yang banyak manusia merugi di dalamnya, yaitu nikmat kesehatan
dan nikmat peluang, kesempatan (HR. Abu Daud). Itu artinya kesehatan dan
luang waktu tanpa kesibukan haruslah kita syukuri dan jangan sampai
kita sia-siakan.
Tidak hanya itu, Islam juga mengajak agar umatnya menjadi pribadi
yang rapi dan bersih. Sebuah Hadis menjelaskan bahwa barang siapa
memiliki rambut, maka hendaknya dia memuliakannya (HR. Abu Daud).
Menurut pakar maksudnya adalah dengan disisir, dicuci, dan bahkan
diminyaki agar terlihat rapi.
Bahkan Nabi SAW sendiri pun tidak pernah lepas dari beberapa alat hias semisal sisir, cermin, siwak, dan celak (HR. Thabrani).
Bahkan Nabi SAW sendiri pun tidak pernah lepas dari beberapa alat hias semisal sisir, cermin, siwak, dan celak (HR. Thabrani).
Hingga di sini kita dapat memahami betapa Islam juga mementingkan
kesehatan, kebugaran jasmani, kerapian, dan keindahan. Hanya saja,
pandangan Isalam terhadap kesehatan tak sama dengan medis di mata
materialis yang kini mendominasi dunia. Medis materialis memandang
kesehatan hanya dari sisi lahir saja. Mereka terpusat memandang bahwa
sehat itu higienis dan memiliki kandungan gizi tinggi.
Berbeda dengan hal itu, Islam memandang kesehatan bukanlah di lihat
dari satu arah peninjauan, tapi ada faktor non-materi yang juga dianggap
penting di dalamnya, misalnya tentang barakah. Dalam sebuah Hadis
dijelaskan setelah makan, sebaiknya tangan dijilat hingga bersih karena
kita tidak tahu di mana barakah akan turun (HR. Baihaqi). Medis
materialis mungkin akan bertanya-tanya; untuk apa? Atau juga Hadis
tentang larangan makan dengan tangan kiri (HR. Muslim). Mereka mungkin
berkilah; apa bedanya? Pun juga Hadis perintah memungut makanan yang
jatuh dan memakannya (HR. Muslim). Mungkin saja mereka berkomentar;
awas, kuman!
Belum lagi bila semua itu dibenturkan dengan cara hidup ala tasawwuf.
Anjuran sedikit makan bagi pelajar akan jadi aneh bila dilogikakan
dengan nalar medis, bukankah belajar justru butuh lebih banyak nutrisi.
Larangan memakan ikan laut akan menjadi lucu bagi para dokter, bukankah
ikan memiliki protein tinggi.
Maka dari sini perlu ada keseimbangan dalam menalar arti sehat. Di
satu sisi hidup sehat harus dijaga agar tidak kebablasan hingga enggan
pada hal-hal non-materi, tapi di sisi lain perintah dan anjuran untuk
sehat juga perlu untuk di ikuti. Halal tetap jadi ukuran paten, tapi
gizi dan nutrisi juga sebaiknya dipikirkan.
Ditambah lagi niat dalam melakukan sesuatu juga menjadi hal yang tidak dapat disepelekan. Tidak makan ikan laut memang aneh, tapi karena diikuti niat baik, akhirnya pun juga baik. Sedikit makan mungkin akan berdampak lemahnya tubuh, tapi karena niatnya adalah usaha tidak terpedaya nafsu (tirakat), maka jadinya pun bisa berbeda. Sebaiknya bila makanan yang dikonsumsi penuh gizi tapi niatnya tidak baik, mungkin ending-nya justru hal tidak baik.
Ditambah lagi niat dalam melakukan sesuatu juga menjadi hal yang tidak dapat disepelekan. Tidak makan ikan laut memang aneh, tapi karena diikuti niat baik, akhirnya pun juga baik. Sedikit makan mungkin akan berdampak lemahnya tubuh, tapi karena niatnya adalah usaha tidak terpedaya nafsu (tirakat), maka jadinya pun bisa berbeda. Sebaiknya bila makanan yang dikonsumsi penuh gizi tapi niatnya tidak baik, mungkin ending-nya justru hal tidak baik.
Walhasil, memahami sehat, rapi, dan bersih haruslah seimbang, tidak
terlalu ke kanan hingga skeptis, tidak pula terlalu ke kiri hingga
materialis. Pun juga niat dan kehalalan makanan, pakaian dan semua hal
yang terkait juga penting untuk dipikirkan, karena bagaimanapun juga
semua tetap memiliki dampak, baik positif maupun negatif.
*) Sumber tulisan : pondoktanggir
0 komentar:
Posting Komentar