Oleh : Redaksi
Orang-orang sosialis yang tidak memahami agama umumnya pasti
geram manakala terjadi konflik antar umat-beragama, atau antar-sekte
yang berbeda dalam suatu agama, semisal antar kelompok Ahlu Sunnah wal
Jamaah versus Syiah dalam agama Islam.
Biasanya pula, menyaksikan pergesekan yang kerap kali terjadi, mereka
cenderung berpikir, atau setidaknya mengandaikan, bagaimana sekiranya
keyakinan-keyakinan yang bertolak belakang itu tak perlu ada, sehingga
tercipta harmoni antar-umat manusia. Tak lagi ada sekat batas yang
memisahkan setiap anak Adam untuk saling menghargai. Dan akhirnya,
seperti kata filsuf Barat, agama dan objek-objek keimanan semacamnya
adalah candu, yang seharusnya tak perlu ada, agar tercapai ketentraman
hidup umat manusia.
Upaya menghapuskan, atau setidaknya mengebiri, peran agama dalam
kehidupan umat manusia adalah cara yang tempuh oleh umat anti- agama,
dan bahkan anti-tuhan, yakni orang-orang ateis, untuk menciptakan
perdamaian. Karena mereka melihat , bahwa pertikaian antar-umat manusia
cederung dipicu oleh agama-agama dan keyakinan-keyakinan yang berbeda.
Kita, orang beragama, yang memiliki iman dan keyakinan, tentu menilai
ini adalah solusi yang tak masuk akal. Solusi yang ditawarkan oleh
orang tak beragama itu adalah ngawur dan emosional. Akankah kita
menanggalkan agama kita untuk mencapai harmoni kehidupan sosial,
sementara agama Islam diturunkan justru sebagai rahmat untuk sekalian
alam? Dan, adakah dengan ditanggalkannya agama pertikaian antar
umat-manusia bisa nihil, clean sheet? Jawabannya tentu saja tidak. Sebab
pemicu konflik kadang soal gengsi kesukuan, arogansi kelompok,
keserakahan akan kekayaan duniawi, dan lain sebagainya.
Hal lain adalah, mungkinkah seseorang akan lepas sama sekali dari
suatu keyakinan yang dipeluknya sejak awal dengan erat? Tentu juga tidak
mungkin. Bahkan orang yang tak beragama sekalipun, sebetulnya mereka
memiliki keyakinan, bahwa bagi mereka tak ada satupun agama yang benar
di dunia ini. Mereka memeluk pemahaman bahwa agama adalah sumber
konflik, dan seterusnya. Mereka tetap memiliki keyakinan, yang tentu
saja berbeda dengan keyakinan orang-orang beragama.
Ada cara lain yang dilemparkan sebagai solusi untuk mengatasi konflik antar-agama atau antar-sekte dalam agama. Solusi ini dikemukakan oleh kelompok pluralisme agama. Yakni dengan cara meyakini sepenuhnya, bahwa semua agama itu pada hakikatnya sama. Tak ada yang lebih baik yang mengunggulkan antara satu dengan yang lainnya. Semuanya sama-sama baik, dan sama-sama merupakan jalan menuju tuhan yang sama.
Demikian pula halnya dengan sekte-sekte dalam agama. Semua juga sama derajatnya. Tidak ada yang lebih benar, atau memiliki kemungkinan-kemungkinan untuk benar, sehingga tak perlu saling menyalahkan. Sekte-sekte yang ada adalah laksana jalan menuju tuhan yang sama dengan bentuk trek yang berbeda. Tak ada masalah dengan perbedaan sekte dalam agama, dan tak seharusnya mempermasalahkan itu sehingga memantik konflik.
Ada cara lain yang dilemparkan sebagai solusi untuk mengatasi konflik antar-agama atau antar-sekte dalam agama. Solusi ini dikemukakan oleh kelompok pluralisme agama. Yakni dengan cara meyakini sepenuhnya, bahwa semua agama itu pada hakikatnya sama. Tak ada yang lebih baik yang mengunggulkan antara satu dengan yang lainnya. Semuanya sama-sama baik, dan sama-sama merupakan jalan menuju tuhan yang sama.
Demikian pula halnya dengan sekte-sekte dalam agama. Semua juga sama derajatnya. Tidak ada yang lebih benar, atau memiliki kemungkinan-kemungkinan untuk benar, sehingga tak perlu saling menyalahkan. Sekte-sekte yang ada adalah laksana jalan menuju tuhan yang sama dengan bentuk trek yang berbeda. Tak ada masalah dengan perbedaan sekte dalam agama, dan tak seharusnya mempermasalahkan itu sehingga memantik konflik.
Sementara orang mungkin melihat solusi ini tampak elegan dan tulus
menginginkan perdamaian. Padahal, hakikatnya, ada kekejaman yang
menjijikkan di balik tawaran ini. Bahwa dengan memaksa setiap orang
meyakini agama-agama pada dasarnya sama, sesungguhnya mereka hendak
memaksa setiap orang untuk tidak meyakini kebenaran agama
masing-masing. Tentu tawaran ini adalah absurd. Gambarannya: bagaimana
mungkin kita dipaksa untuk tidak mencintai hal yang telah kita cintai
sejak awal?
Maka, bagi Indonesia sebagai negara hukum, regulasi hukum plus amar
makruf nahi munkar adalah solusi terbaik. Namun justru para pejuang
liberalisme mulai berupaya untuk menginfiltrasi hukum negara kita.
Maka,di ranah ini pula kita mesti berjuang.
0 komentar:
Posting Komentar